Kurang lebih dalam 1,5 bulan lagi, saya akan memasuki usia 25 tahun, usia seperempat abad. Masa-masa dimana generasi millennial usia 20an katanya mengalami yang disebut quarter life crisis.
Di usia dimana saya telah berstatus menikah dan mempunyai pekerjaan yang cukup mumpuni ternyata tidak membuat saya terlepas dari quarter life crisis ini. Kenapa begitu? Karena akhir-akhir ini saya toh tetap mempertanyakan makna hidup yang sudah saya jalani. Terkadang masih suka galau kalau melihat posting-an orang lain di instagram atau path yang terlihat lebih sukses.
Kadang rindu juga masa-masa kuliah dimana bisa saling cerita haha hihi sampai pagi, seakan-akan tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan, kayaknya dulu belum seintens sekarang memikirkan tentang pernikahan, pekerjaan, dan sebagainya. Paling yang dipikirkan hanya tugas kuliah, LOL.
Quarter life crisis sepertinya menjadi sebuah periode yang dilewati setiap orang. Periode pencarian yang terkadang diiringi dengan rasa cemas, stress, khawatir, merasa tidak seberdaya seperti kebanyakan orang lain, yang terjadi antara usia 20an – 30an, yang biasanya terjadi karena seseorang merasa belum sepenuhnya mencapai keinginannya atau karena merasa tertinggal dibandingkan orang lain seusianya. Perasaan cemas ketika menerima undangan nikah, mengetahui ada yang teman yang memperoleh beasiswa ke luar negeri ketika yang dilihat di media sosial adalah posting-an teman-teman yang menikah, menceritakan keadaaan anaknya, promosi di tempat kerja, bisa liburan ke tempat-tempat keren. Cemas karena "bisa gaa yaa gue kayak gitu juga? Padahal umurnya gaa jauh beda".
Terasa familiar?
Tenang, setiap orang rasanya akan melewati fase ini, tidak perlu merasa sendirian dan menanggapnya tidak normal, karena memang ada masanya seperti itu, dan yang mungkin berbeda adalah cara setiap orang melewatinya. Di satu sisi ada banyak orang yang akan terjebak dengan krisis yang dialaminya, tertekan, merasa stress tanpa melakukan apapun, disisi lain ada orang yang berhasil melewati fase ini sehingga dapat tumbuh dan berkembang untuk menjadi sukses.
Setelah membaca beberapa artikel tentang quarter life crisis ini, saya berpendapat bahwa krisis ini terutama muncul ketika seseorang membandingkan kehidupan yang ia miliki dengan orang lain *semacam ngomong depan cermin*. Perasaan kompetitif dengan teman-teman seusia mungkin dapat menjadi semacam pemicu. Melihat pencapaian yang orang lain lakukan yang membuatnya merefleksikan diri sendiri “Mengapa saya tidak bisa mencapainya”. (yang juga saya rasakan, karena hidup di Indonesia entah mengapa tidak lepas dari perbandingan-perbandingan ini, seolah setiap fase kehidupan adalah pertandingan bagi satu sama lain, yang terlebih dahulu melewati adalah pemenangnya). Padahal yaa gaa gitu juga sih.
Menurut saya, usia 20an adalah usia coba-coba, menjawab rasa penasaran yang dimiliki. Entah itu terkait dengan pasangan, pekerjaan, pendidikan atau hal lainnya. Pada usia ini, banyak anak muda yang mungkin akan sering gonta ganti pekerjaan hanya karena merasa tidak cocok atau tidak sesuai passion, ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi tapi takut gaa cocok dengan jurusannya, banyak yang galau karena belum menikah menjelang usia 30, atau yang lebih parah mungkin merasa “life is suck”.
Kalau sudah begini bagaimana mengatasinya?
Setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda dalam mengatasi fase ini, mungkin cara mengatasinya bisa dengan mengobrol pada teman seusia, tukar pikiran, siapa tahu bisa mendapat cara pandang baru. Kita merasa menjadi orang paling nelangsa sedunia, padahal ada lebih banyak orang yang lebih kurang beruntung dibandingkan kita. Terlalu lama melihat ke atas, kadang membuat kita lupa melihat ke bawah. Selain itu, mungkin bisa dengan mencoba hal-hal baru!, mengeksplorasi kemampuan diri sendiri, daripada merasa khawatir akan sesuatu yang belum pasti, lebih baik menikmati hidup di hari ini, anggap saja kesukesan orang lain sebagai motivasi bukan sebagai standar ideal yang harus dicapai. Hidup yang mereka punya bukan hidup kamu. Kata sebuah artikel yang saya baca:
“It’s important to remember not to compare yourself to those who have been doing something for longer than you.”
Kebanyakan dari kita hidup karena suatu aturan atau standar yang menuntut kita melakukan suatu hal dengan cara tertentu. Oleh orang lain. Orang lain yang seakan menentukan hal yang baik untuk kita, yang penting, yang menentukan rencana hidup kita, usia paling pas untuk menikah, jenjang karir yang ideal sampai usia pensiun, bagaimana seharusnya menghabiskan waktu yang kita punya. Tapi sekali lagi, itu kan menurut mereka. Bagaimana menurut kita?
Mungkin sebagian benar dan sesuai dengan diri kita, sebagian yang lain? Belum tentu. Ada kebahagiaan diri sendiri yang dipertaruhkan disini. Selalu ada pilihan yang dapat diambil. Apapun itu. Terlalu fokus pada perkataan dan komentar orang lain, mengikuti standar orang lain, ingin mencapai hal-hal yang sukses dilakukan orang lain, lantas melupakan fokus pada diri sendiri, melupakan tujuan hidup yang mungkin sudah direncanakan.
Alih-alih mengatakan bahwa usia 20an adalah fase quarter-life crisis, sebuah artikel menyebutnya sebagai quarter-life come up. Walapun sulit, fase ini pun akan terlewati juga, sebagai tanda naik ke level selanjutnya.
Jadi, usia 25, sudah melakukan apa untuk dunia sekitar?
“everyone has their own path in life, and you should focus on yours, not someone else’s” (read somewhere)
Credit: Photo by Kari Shea on Unsplash
Be First to Post Comment !
Post a Comment