Seperti pada judul tulisan ini, menurut saya pertanyaan “Kapan?” tidak akan berhenti begitu saja.
Luar biasa sekali pertanyaan yang satu ini, saya yang baru menikah 4 bulan saja sudah cukup sering mendengar pertanyaan ini, apalagi pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah, entah betapa nelangsanya mendengar pertanyaan tersebut.
Kalau ada yang bertanya mengenai hal tersebut kepada saya, maka saya akan menjawab kalem sambil tersenyum “Udah, udah isi makanan”, haha.
Karena saya tidak ambil pusing, pertanyaan itu berlalu begitu saja, anggap saja doa dari yang bertanya. Nanti toh kalau memang sudah saatnya, Insyaallah akan diberikan.
Kadang merasa gemas juga untuk balik bertanya, “Emang kalau udah punya anak, situ mau bantuin bayarin biaya hidupnya? biaya sekolahnya? masuk TK aja udah belasan juta cyiinnn...”
Padahal yaa, menurut saya pribadi, seperti halnya memutuskan untuk menikah ataupun tidak menikah yang harus dilandasi dengan kesadaran penuh, kematangan emosi, dan siap dengan segala konsekuensinya, keputusan untuk memiliki anak pun harus didasari dengan segala pemikiran, pertanggungjawaban atas amanah yang diberikan, kesiapan lahir batin serta mental, bukan hanya sekedar mau enaknya saja.
Sampai sekarang saya bertanya-tanya, mengapa pertanyaan mengenai kehidupan seseorang tidak jauh-jauh dari status pernikahan, pekerjaan, ataupun mempunyai keturunan.
Entah siapa yang memulai standar sosial bahwa ketika seseorang sudah selesai sekolah, kuliah, bekerja, menikah, harus punya anak. Entah mengapa hidup seseorang dengan orang lainnya ibarat template, yaa gitu aja prosesnya, seolah-olah harus selalu seperti itu, padahal setiap orang dengan keunikannya masing-masing pasti mempunyai tujuan hidup dan punya cara sendiri untuk menjalaninya. Mengapa harus selalu dianggap sama?
Saya khawatir kita sendiri yang secara tak sadar ikut andil dalam menciptakan standar sosial yang dianggap “memang begitu harusnya”, dan seringkali standar sosial itu makin melekat untuk kaum wanita.
Wanita, usia 30 tahun, belum menikah, memiliki pekerjaan yang mapan langsung diberi label tidak laku, perawan tua oleh lingkungan sosialnya. Dikomentari nanti susah kalau mau punya anak karena usianya, dikomentari jangan terlalu fokus pada pekerjaan.
Wanita, usia 25 tahun, masih bersemangat mengejar cita-cita, sedang mencari beasiswa S2, belum menikah, lalu dikomentari ngapain kuliah tinggi-tinggi, nanti juga ujungnya ngurus anak di rumah.
Duh.
Apakah sesederhana itu? Apakah harus selalu seperti itu? Tanpa tahu menahu proses yang ia lewati.
Mungkin masih banyak kasus-kasus lain di luar sana, namun sepertinya tidak akan jauh-jauh dari persoalan kerja – nikah – punya anak, untuk kemudian ditanyakan kembali “Kapan ngasih adik untuk kakaknya?”
Begitu saja terus, seperti tidak ada pertanyaan kepo lainnya. Kalaupun sudah dijawab, tetap ada komentar-komentar berikutnya yang bisa jadi terasa manis, namun tak jarang terasa pedas juga.
Jadi, sudah siap ditanya ?
Jadi, kapan del? #langsungditimpuksendal
ReplyDeleteBtw, emang udah 4 bulan nikahnya? Ga kerasa yaa, perasaan baru kemaren π π
nanti pada saatnya tibaaa, hahaha π
ReplyDelete