Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang buku kedua Lala Bohang, nah, kali ini saya mau bahas buku pertamanya. Menurut saya pribadi, buku pertama Lala Bohang ini terasa lebih kelam, mungkin pengaruh dari warna sampul dan warna ilustrasi di dalam bukunya.
Pembaca seolah diajak memasuki perasaan terdalam penulis. Saya merasa buku ini lebih banyak mengulas hubungan dengan orang lain, hubungan antar manusia. Perasaan ditinggalkan, merasa terlalu bergantung pada orang lain (atau benda?), merasa perlu untuk dicintai, namun tak jarang memunculkan kelelahan. Batas yang diinterpretasikan menjadi samar.
Membaca buku ini semacam membaca kumpulan curahan hati setiap orang yang mungkin tidak diungkapkan karena lingkungan sosial belum tentu menerimanya. Perasaan-perasaan yang jangan-jangan tidak divalidasi oleh diri sendiri, membuat perdebatan tiada henti, lalu menguap begitu saja tanpa tahu apa yang terjadi.
Ada satu kutipan yang menarik:
"Woman to woman friendship is the hardest of them all. It's caring but at the same time bullying. It's supportive but at the same time envious.", seperti banyaknya kasus kompetisi antar ibu yang tak kunjung usai, atau kalau iseng baca komentar di kolom media sosial justru sesama wanita yang saling menjatuhkan. Mungkin setiap orang hanya ingin melindungi dirinya sendiri.
"We only remember moments in our way to preserve those moments, we only see what we want to see, we only remember what we want to remember; not exactly how they happened" (P.63).
Pada akhirnya, suka atau tidak, semua emosi yang dimiliki bermuara pada diri sendiri. Bagaimanapun perasaan yang muncul, jadikan kebahagiaan diri sendiri yang utama.
Tentu saja interpretasi setiap orang dalam buku The Book of Forbidden Feelings berbeda-beda, , jadi silakan dibaca sendiri, hehe. Tulisan pendek ini sedikit membagi yang saya rasakan saat membaca bukunya.
Be First to Post Comment !
Post a Comment